Catatan Putra sang Bestari 7

 ANTARA TAREKAT DAN TIRAKAT

(Spiritualisme dalam Tradisi Pesantren Daar el Qolam Dan La Tansa, Banten)

Baca juga :

Terbaru : 

Dalam lanskap (lingkungan, sistem, nilai, dan dinamika kehidupan) kependidikan Islam Indonesia, pesantren tidak sekadar menjadi tempat belajar ilmu agama (tafaquh fi ad dien) melainkan  markas spiritual, pembentukan jiwa dan karakter melalui disiplin ruhani yang konsisten. 


Pondok Pesantren Daar el Qolam dan La Tansa Banten dikenal tidak hanya sebagai lembaga pendidikan besar secara fisik sarana pra-sarana, jumlah santri, luas lingkungan, usia pesantren, tetapi kesejarahan yang di kemas dalam sistem yang kuat, nilai spiritual holistik (tarekat-tirakat), kurikulum yang integral  sebagai rumah pembinaan adab, akhlak, ilmu dan spiritualitas (muttaqiin, mu'minin, dan rasikhin fil 'ilmi).


Dua istilah yang sering muncul dan bahkan menyatu dalam kehidupan santri adalah tarekat dan tirakat. Meski berasal dari akar budaya dan istilah yang berbeda, keduanya berfungsi sebagai pilar penting dalam bangunan spiritual santri.


Tarekat: Jalan Ruhani Bersanad


Secara etimologis, tarekat berasal dari bahasa Arab ṭarīqah (طَرِيقَة) yang berarti jalan atau metode. Dalam tradisi tasawuf, tarekat merujuk pada jalan khusus yang ditempuh seorang murid (salik) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, melalui bimbingan seorang mursyid, wirid-wirid tertentu, serta pengamalan akhlak tasawuf yang luhur.


Tarekat bukan sekadar dzikir berjamaah atau ritual sufistik, tetapi merupakan sistem pendidikan ruhani yang menyeluruh. Di dalamnya ada adab terhadap guru, pengosongan diri dari sifat tercela (takhalli), pengisian diri dengan sifat terpuji (tahalli), dan orientasi pada perjumpaan dengan Allah (tajalli).


Di Daar el Qolam dan La Tansa, meskipun tidak semua santri mengikuti tarekat formal secara struktural, nilai-nilai tarekat seperti dzikrullah, mujahadah, murāqabah, dan tazkiyah an-nafs dijalankan dalam kehidupan harian. Shalat tahajjud berjamaah, wirid pagi-sore, adab terhadap guru, serta pembinaan akhlak di asrama merupakan bentuk manifestasi dari spirit tarekat yang hidup.


Tirakat: Laku Prihatin yang Membentuk Jiwa


Berbeda dengan tarekat yang sistematis dan bersanad, tirakat adalah istilah khas tradisi Jawa yang merujuk pada laku spiritual berupa menahan diri dari kenikmatan dunia untuk memperoleh kekuatan batin atau kemurnian hati. Tirakat bisa berupa puasa, menyepi, membatasi tidur, tidak bicara, atau menahan hawa nafsu lainnya.


Dalam konteks pesantren seperti Daar el Qolam dan La Tansa, tirakat tidak lagi hadir dalam bentuk ekstrem seperti pati geni atau topo bisu.

Pati geni dan topo bisu adalah bentuk laku spiritual (tirakat) dalam tradisi kejawen atau tasawuf Jawa, yang juga bisa ditemukan dalam praktik spiritual beberapa kalangan pesantren tradisional sebagai bentuk penguatan batin dan pengendalian diri.


1. Pati Geni

Arti harfiah: Pati = mati, geni = api, "mematikan api".

Makna spiritual: Mematikan "api hawa nafsu", bukan api fisik.

Biasanya dilakukan dengan berpuasa total (kadang tanpa makan dan minum dari pagi sampai malam), tidak menyalakan lampu (gelap total), dan diam dalam tempat khusus untuk merenung dan mendekat kepada Allah.

Tujuannya adalah menundukkan syahwat, menenangkan hati, dan membersihkan jiwa dari dorongan duniawi.

Bisa dilakukan dalam waktu tertentu (1 hari, 3 hari, bahkan 40 hari), tergantung niat dan bimbingan guru spiritual.


2. Topo Bisu

Arti harfiah: Topo = bertapa/laku tirakat, bisu = tidak berbicara.

Makna spiritual:

Menahan diri tidak bicara sama sekali, kecuali untuk keperluan yang sangat mendesak.

Topo bisu bisa berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa hari.

Tujuannya adalah menjaga lisan, melatih kesabaran, dan meningkatkan kesadaran batin.


Dalam pesantren atau tarekat, ini serupa dengan praktik diam (ṣumtun) yang disebut dalam tasawuf, untuk menghindari ghibah, omong kosong, atau hal-hal yang sia-sia, melainkan hadir dalam bentuk yang lebih Islami dan terarah. Misalnya:

Puasa Senin-Kamis untuk membersihkan jiwa

Membatasi makan dan tidur untuk menguatkan daya pikir dan daya ruhani

Menahan diri dari gadget, pergaulan bebas, dan hiburan yang sia-sia



Tirakat menjadi bagian dari riyadhah nafsiyyah - latihan jiwa yang menjadikan santri tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual dan emosional.


Titik Temu: Dua Jalan, Satu Tujuan


Meski tarekat lahir dari tradisi tasawuf dan tirakat dari tradisi kejawen, keduanya berpijak pada tujuan yang sama: membentuk pribadi yang tunduk kepada Allah, jernih jiwanya, dan kukuh menghadapi godaan dunia yang melenakan.


Tarekat menuntut mursyid dan silsilah, tirakat menuntut keikhlasan dan kesungguhan. Tarekat mengatur jalan, tirakat menguatkan langkah. Di Daar el Qolam dan La Tansa, keduanya tidak dipertentangkan, justru diperjalankan bersama dalam kehidupan harian santri. Disiplin, kesederhanaan, pengendalian diri, dan keikhlasan menjadi bekal utama dalam menempuh jalan ilmu dan amal.


Sejarah Spiritual Daar el Qolam dan La Tansa: Warisan Ruhani dari Gontor ke Banten


Pondok Pesantren Daar el Qolam didirikan pada tahun 1968 oleh KH. Ahmad Rifa’i Arief, seorang ulama visioner dan alumni Pondok Modern Darussalam Gontor. Sebagai santri langsung dari KH. Imam Zarkasyi dan para pendiri Gontor, KH. Ahmad Rifa’i Arief membawa semangat pendidikan modern yang berpadu dengan jiwa spiritualitas yang kuat, yaitu ibadah.

Sejak kecil cita-citanya ingin jadi kyai. Restu orang tua Abah H. Qoshod Mansyur dan ibunda Hj. Hindun Mastufah, doa, tirakat (riyadhah) puasa, bersedekah, nafkah yang halal sarat berkah, sekalipun ayah beliau seorang ustadz kampung dengan bertani, sangat memperkuat bangunan spiritual atas kesuksesan anaknya Ahmad Rifa'i Arief sebagai putra pertama.

Pengalaman spiritual dan kedekatannya dengan para ulama sufi. Di caringin banten beliau belajar al qur'an dengan Kyai Syihabuddin Makmun, abuya Muhtadi, Kyai Armin, kyai Sanja, abuya Mufassir, dan lain-lain. 


Daar el Qolam dan La Tansa serta pengembangannya: Pesantren Wisata Sakinah La Lahwa- dan Universitas La Tansa Mashiro (UNILAM) tidak hanya sebagai institusi pendidikan formal, tetapi juga sebagai "madrasah ruhaniyyah", tempat di mana akhlak, adab, dan keikhlasan menjadi inti seluruh proses belajar-mengajar.


Kyai Ahmad Rifa'i Arief membentuk iklim tirakat modern: membiasakan bangun dini hari, melatih kesederhanaan makan dan hidup, menanamkan adab bicara dan diam, hingga membatasi kesenangan sebagai bentuk latihan batin. Semua ini bukan sekadar aturan, melainkan cerminan dari nilai-nilai spiritualitas Islam yang murni, sebagaimana diajarkan para ulama terdahulu.


Ketaatan, kesungguhan, kesabaran, ketawadhuan yang kuat, kealiman, dan keteladanan hidupnya menjadi poros utama yang menanamkan fondasi spiritual discipline di Daar el Qolam dan La Tansa. Hingga hari ini, nilai-nilai tersebut tetap hidup dan menjadi ruh dari ribuan santri yang datang dari seluruh penjuru Nusantara.


Spirit Pesantren yang Tak Lekang oleh Zaman


Ketika dunia luar semakin gaduh oleh hiruk-pikuk digital dan kompensasi duniawi, pesantren tetap menjadi ruang sunyi puja dan puji yang melahirkan pribadi-pribadi kuat, ikhlas, jernih, dan tangguh. Di sanalah tarekat dan tirakat bukan sekadar wacana, melainkan bagian dari perjalanan spiritual yang nyata.


Sebagaimana nasehat para ulama:

“Ilmu tanpa adab adalah kesesatan. Amal tanpa jiwa adalah kehampaan.”


Pesantren Daar el Qolam dan La Tansa membuktikan bahwa pendidikan sejati bukan hanya soal kecerdasan, tetapi juga keberanian untuk hidup dalam kesungguhan dan keheningan. Dan dalam hening itu, ruhani tumbuh, dan jiwa disucikan.


Baca juga :

Terbaru : 

1 komentar: